Karena Jempolmu Tidak Mengubah Keadaan, Imbangi Rasa Peduli dengan Aksi
Mari beralih sebentar dari daging dan hal-hal lain tentang kesehatan masyarakat veteriner. Kali ini saya ingin berbagi cerita tentang sikap, attitude dan kepedulian orang-orang dengan lingkungan sekitarnya yang semakin terdegradasi. Apalagi dengan adanya perkembangan teknologi yang membuat orang lebih memperhatikan gadgetnya daripada lingkungannya.
Hal ini bermula dari pengalaman saya sendiri beberapa waktu lalu waktu membeli bubur ayam di dekat kos saya, di situ cukup rame banyak pembelinya. Waktu saya datang, kebetulan bareng dengan seorang ibu-ibu yang sudah lumayan tua yang ngamen ke situ. Karena saya baru aja dateng, saya sengaja nggak ngasih ke ibu tersebut, karena saya pikir paling tidak orang-orang yang di situ bakal ngasih. Tapi ternyata tidak. Tidak ada satu orangpun di situ yang memperhatikan ibu tua itu, apalagi ngasih uang sekedar seikhlasnya. Karena tidak tega melihat ibu tersebut masih menyanyi dan tidak ada yang peduli, sayapun kasih ibu itu sedikit uang saya, meski uang saya sebenarnya mepet waktu itu. Sungguh ironis melihat orang-orang itu. Di mana hati nurani mereka?
Memang, sebenernya serba salah mau ngasih uang ke pengamen atau pengemis. Sudah ada aturannya pula untuk melarang memberi sedekah ke peminta-minta di jalanan, karena hal itu membuat mereka malas untuk bekerja. Saya pun jarang ngasih kalau ada pengemis atau pengamen di jalanan, karena keberadaan mereka kadang justru mengganggu lalu lintas. Lalu sebenarnya benar apa salah ngasih uang ke mereka? Menurut saya sendiri, tidak benar namun juga tidak salah. Kenapa tidak benar? Tentu saja karena itu akan membuat mereka malas bekerja. Dan kenapa tidak salah? Karena bagaimanapun mereka sesama manusia dan mungkin memang membutuhkan. Saya sendiri selalu lihat-lihat sebelum memberi uang ke mereka, kira-kira mereka sebenarnya masih mampu untuk bekerja atau tidak.
Satu hal yang juga menarik bagi saya adalah sebuah postingan di Line tentang Esensi dan Eksistensi. Pada tulisan tersebut dibahas bahwa orang jaman sekarang menunjukkan kepedulian mereka dengan nge’like’ sebuah status, dan itu sungguh menggelikan. Banyak orang yang lupa dengan esensi peduli, atau membantu sesama dikira bisa dilakukan dengan jempol mereka. Padahal tidak. Jempol mereka tidak akan menolong anak cacat yang ingin sekolah itu, ataupun memberi makan nenek tua sebatang kara itu. Peduli itu harus diimbangi dengan aksi.
Saya sering belajar dari orang tua saya. Mereka bukan orang kaya, tapi mereka tidak pernah ragu untuk berbagi dengan sesama. Pernah ketika saya pergi ke sebuah toko dengan ibu saya, kebetulan di depannya ada pengemis. Saya sendiri sebenarnya merasa pengemis itu masih cukup mampu untuk bekerja, tapi ibu saya tanpa ragu memberinya uang. Dan di hari yang sama, waktu kami kembali ke sana ternyata pengemis itu masih ada, lagi-lagi ibu saya memberinya uang. Entah mengapa, melihat ibu saya yang seperti itu, diam-diam saya merasa sangat bangga.
[iframe src=”http://www.youtube.com/embed/uaWA2GbcnJU” width=”100%” height=”500″]Melihat orang-orang yang masih ‘peduli’ sungguh menyenangkan. Seperti sebuah iklan asuransi dari Thailand yang cukup menarik ini. Kadang sebenarnya kita memang tidak mengharap balasan apapun ketika membantu orang lain. Tapi kita hanya ingin merasakan emosinya. Sebuah perasaan bahagia karena bisa membantu orang lain meski sedikit. Meski mungkin tidak akan bisa langsung membuat seseorang bisa mendapat hidup yang layak, tapi setidaknya bisa memberinya makan hari ini. Dan hanya orang-orang yang benar-benar peduli yang mengerti perasaan itu.
Lewat tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk lebih peduli dengan lingkungan sekitar. Peduli bukan dengan nge’like’ status-status tertentu. Peduli harus dibarengi dengan aksi. Tidak harus aksi yang besar. Tidak harus mengeluarkan dana yang besar, bisa juga dengan bantuan tenaga dan pikiran. Jika tetap tidak bisa, doa yang tulus pun akan didengar Yang Maha Kuasa. Tapi bukan dengan nge’like’ status. Itu benar-benar sebuah pembodohan masyarakat.