Sang Pencari Dunia

up-movie-imageLelaki itu berjalan mondar-mandir di depan kamar. Sesekali dia duduk di kursi kayu yang ada di dekatnya, namun beberapa detik kemudian dia berdiri lagi, berjalan mondar-mandir sambil memainkan jari tangannya. Mulutnya komat-kamit melafalkan doa-doa, matanya hanya tertuju pada dua tempat, kalau tidak pintu kamar di depannya ya jam tua yang ada di dinding seberangnya.
Langkahnya terhenti setelah hampir tiga jam dia berjalan mondar-mandir seperti cacing kepanasan. Akhirnya salah satu penantian yang paling menggelisahkan dalam hidupnya, yang bahkan lebih membuatnya cemas daripada ketika hasil panen padinya gagal, berakhir saat dia mendengar suara yang sangat menggetarkan hati dari dalam ruangan 3×4 meter di depannya. Lelaki itu bergegas meraih pintu, mendapati seorang wanita tua yang menggendong makhluk mungil berwarna merah tersenyum ke arahnya. Wanita itu kemudian berjalan menghampirinya, menyerahkan makhluk mungil dalam gendongannya kepada si lelaki. Dalam beberapa detik si makhluk mungil telah berpindah tangan, dari tangan tua dan berkeriput milik si wanita ke tangan hitam dan berkapal milik si lelaki.
Sambil menggendong si makhluk mungil, lelaki itu berjalan menuju ke dekat dipan, dimana seorang perempuan yang dinikahinya dua tahun lalu terbaring. Meski wajah perempuan berkulit kuning langsat itu basah oleh keringat, semburat kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Sang lelaki mendekatkan makhluk mungil dalam gendongannya ke dekat wajah istrinya, kemudian mencium kening perempuan itu. Pandangannya beralih ke makhluk dalam gendongannya lagi, tetes kebahagiaan mengalir dari pelupuk matanya. Perjalanan hidupmu dimulai, nak.
***
Ahmad duduk di kursi panjang yang ada di depan ruang guru. Kepalanya tertunduk, memandang kedua sepatunya yang sudah tipis dan pudar warnanya. Rasanya baru pagi tadi dia berangkat sekolah dengan begitu ceria karena berhasil menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia dari bu Marni dengan baik. Namun semuanya berubah ketika bu Marni menyuruh murid-muridnya maju ke depan kelas untuk menceritakan tentang cita-cita yang mereka gambar.
“Jadi apa cita-citamu, Mad?” tanya bu Marni ketika tiba giliran Ahmad.
“Saya ingin..,” kata Ahmad lantang, sambil membuka kertas hasil gambar kebanggaannya, ”saya ingin melakukan perjalanan keliling dunia!”
Seisi kelas bengong. Mereka menatap bumi dengan pulau-pulau berwarna hijau yang dikelilingi warna biru yang Ahmad gambar. Sedetik kemudian mereka tersadar dan tidak dapat menahan saraf tawa mereka. Bu Marni hanya diam menatap gambar Ahmad.
“Apa maksudmu menggambar peta, Mad? Kamu mau jadi pulau?” celetuk salah satu temannya. Tawa mereka pecah lagi.
Ejekan-ejekan mereka tidak terhenti sampai bel pulang sekolah. Bahkan Beni, teman sebangku sekaligus sahabatnya, tak bisa berhenti tertawa ketika teman-temannya membahas hal itu.
“Mad, kata bapakku, cita-cita itu harus setinggi langit. Harus bisa buat orang tua bangga. Lihat aku ini, cita-citaku jadi dokter, atau Dodi ingin jadi pilot. Lah kamu? Pengen jadi pulau?” katanya dilanjutkan tawa yang tidak bisa dikendalikannya saat pelajaran Matematika, mengakibatkannya dihukum berdiri di depan kelas oleh Pak Supardi.
Huh, mereka tidak mengerti, gumam Ahmad. Dia menengok ke arah pintu ruang guru di sebelahnya. Akibat kejadian tadi pagi, selain dia diejek seharian, dia juga diminta bu Marni untuk menemuinya seusai pulang sekolah. Tapi sudah setengah jam dia menunggu bu Marni yang sedang rapat dengan para guru.
Pintu ruang guru terbuka. Pak Supardi keluar diikuti guru-guru lain. Setelah hampir semua guru keluar, Ahmad yang bersembunyi di belakang pintu mengintip dalam ruangan. Setelah yakin sudah sepi, dia memberanikan diri untuk masuk. Dia bisa melihat satu-satunya orang yang masih di sana, di mejanya yang berada di baris ke empat. Ahmad mendekat ke arahnya. Bu Marni yang melihatnya tersenyum.
“Duduk sini, Mad,” katanya. Ahmad mengikuti perintahnya.
“Jangan khawatir, Ibu tidak akan memarahimu, nak,” katanya lembut. Wanita berusia lima puluhan itu melanjutkan, “kau itu anak yang pandai, selalu masuk tiga besar. Orang tuamu pasti bangga. Mereka ingin kau sukses, jadi orang yang bermanfaat bagi sesama. Mengapa kau tidak ingin jadi dokter seperti temanmu Beni? Atau jadi pilot seperti Dodi?”
Ahmad terdiam. Kepalanya sejak tadi menunduk, lagi-lagi memandang kedua sepatu bututnya. Dia bingung harus menjawab pertanyaan bu Marni, karena dia sendiri tidak tahu mengapa dia tidak ingin jadi dokter, pilot, atau menjadi ‘apa’ seperti cita-cita normal lainnya.
“Ibu suka gambarmu nak,” kata bu Marni sambil mengambil kertas dari tumpukan tugas Bahasa Indonesia yang tadi dikumpul di sebelahnya. “Karena itu Ibu ingin mendengar ceritamu.”
“Saya tidak tahu, Bu…” jawab Ahmad pelan. “Saya belum tahu ingin jadi apa, tapi saya ingin melihat salju, saya ingin ketemu Ronaldo, saya ingin ketemu Hari Poter..”
Bu Marni tersenyum mendengar jawaban polos dari anak sebelas tahun di depannya. Kemudian dia mengambil foto di atas mejanya dan memandang laki-laki dalam bingkai foto berukuran 4R itu. “Ibu tidak akan bilang cita-citamu aneh atau tidak baik, Mad. Justru sebaliknya, Ibu harap kamu bisa meraih cita-citamu itu. Ibu harap kamu bisa keliling dunia, bertemu banyak orang, ke tempat-tempat baru. Tidak perlu terburu-buru, barangkali dari perjalananmu itu kau akan tahu apa yang kau inginkan.”
“Lihatlah, Mad,” bu Marni menunjuk laki-laki dalam foto, “Ini anak Ibu, namanya Ryan.” Ahmad melihat lelaki yang berdiri gagah di depan menara yang sangat tinggi sambil tersenyum, “Dia bekerja di Jepang sekarang. Dulu waktu ditanya cita-cita, dia menjawab kalau dia ingin pergi ke Jepang, ingin ketemu Doraemon katanya. Dan pada akhirnya dia berhasil meraihnya. Karena itu nak, Ibu harap kamu tidak menyerah dengan cita-citamu, biarkan saja orang lain menertawainya, cukup buktikan kalau kamu bisa meraihnya.”
“Oh iya,” bu Marni membuka laci meja, mengeluarkan benda kecil dari dalamnya dan memberikannya pada Ahmad, “ini untukmu, magnet kulkas berbentuk Tokyo Tower dari anak Ibu. Ibu harap suatu hari kamu bisa ke sana, nak.”
***
“Hidup itu soal pilihan dan prinsip, Tih. Kau akan selalu dipusingkan oleh banyak pilihan yang berdatangan dalam hidupmu. Tapi ingatlah, bahwa pria sejati selalu punya prinsip hidup, dan prinsip itulah yang akan menentukan pilihan hidupmu. Kau tahu yang kau inginkan, ikuti saja kata hatimu,” kata Zaki saat Fatih menceritakan kegalauannya. Kata-kata sahabatnya itu juga yang membuat Fatih memberanikan diri untuk menghadap ayahnya malam ini.
“Pak..,” kata Fatih pelan, sambil duduk di samping ayahnya yang sedang mendengarkan radio sambil minum kopi di teras rumah. Ayahnya menengok ke arahnya, kemudian mengecilkan volume radio, mengetahui bahwa anaknya akan menbicarakan hal yang cukup serius.
“Duduklah, nak, ceritakan padaku,” kata Fathur lembut kepada anaknya.
Fatih memejamkan mata, mengumpulkan keberanian. “Fatih akan melanjutkan kuliah ke luar negeri. Beberapa bulan lalu diam-diam Fatih mengikuti seleksi studi S-2 di luar negeri dan ternyata diterima. Kehidupan di sana insya Allah sudah ditanggung oleh beasiswa yang Fatih dapat. Hanya saja masalahnya adalah tiket pesawat harus ditanggung sendiri. Tabungan Fatih belum cukup, Pak..” kata Fatih, kalimat terakhirnya terdengar ragu.
Ayahnya diam, menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya. “Apapun pilihan hidupmu, Bapak akan selalu mendukungmu, nak. Kita bukan orang kaya, tapi aku bersumpah aku rela menjual semua yang kumiliki agar kau dan adik-adikmu dapat bersekolah tinggi. Uang bisa dicari, tapi pengalaman, kesempatan belum tentu datang dua kali. Jadi, negara mana yang kau tuju, Fatih?”
***
Aru melirik jam di seberang mejanya, pukul 18.45. Air putih gratis yang dibawakan pelayan setengah jam yang lalu sudah habis. Pelayan perempuan berwajah bundar dengan make up yang menurut Aru berlebihan itu berulang kali mendatangi mejanya, menanyakan apakah dia mau pesan sesuatu. Tapi Aru menggeleng, dia masih menunggu seseorang.
Namanya Nanako. Gadis Jepang dengan lesung pipit yang sangat manis itu sudah mencuri hati Aru sejak dia menginjakkan kakinya di Tokyo pertama kali dua tahun lalu. Selama itu pula Aru memendam perasaannya, tahu diri bahwa gadis manis dan cerdas itu takkan pernah melirik lelaki hitam dan aneh sepertinya. Meski begitu, Aru tak pernah berhenti memperhatikan gadis itu, memandangnya setiap hari Senin dan Rabu di kelas biologi, duduk di meja nomer dua agar bisa melihat Nanako yang duduk di meja nomer tiga bersama teman-temannya saat makan di kantin. Namun satu hal yang selalu dia ingat, dia tak ingin mengganggu gadis itu, dia hanya ingin mengaguminya. Dia tak pernah berbicara dengan Nanako, tapi dia selalu mencintainya lewat puisi-puisi yang ditulisnya di buku kecil bergambar Pikachu.
“Konbawa, Aru-san. Maaf membuatmu menunggu,” sapa suara lembut dari sebelahnya. Gadis itu duduk di kursi di hadapannya, melirik jam di tangannya, “Kau datang awal sekali, kurasa kita janjian jam 19.00,” lanjutnya.
Tentu saja aku sangat bersemangat malam ini. Datang dua jam lebih awal pun aku siap, batin Aru.
“Namaku Nanako Katoh dari Daigaku News. Ah, tentu kau sudah tahu tujuanku ingin bertemu dari email yang kukirim kemarin. Edisi bulan depan majalah kami adalah tentang Indonesia. Karena itu kami mencari banyak informasi tentangnya, salah satunya dari mahasiswa Indonesia yang kuliah di Tokyo. Aku sudah mendengar banyak tentang Aru-san dan prestasi-prestasimu, makanya aku mengundangmu untuk wawancara.”
Kamu tidak tahu betapa bahagianya aku ketika kamu mengundangku.
Pembicaraan dilanjutkan dengan wawancara dari Nanako tentang kuliah Aru, keluarga Aru di Indonesia, dan berbagai hal tentang kehidupan Aru. Yang mengejutkan adalah, meski itu pertama kalinya mereka saling bicara, meski jantung Aru berdebar keras setiap menjawab pertanyaan Nanako, semuanya mengalir begitu lembut. Gadis yang selalu dilihatnya dari jauh itu begitu ramah dan interaktif. Tidak terasa tiga jam mereka asik mengobrol.
“Baiklah, Aru-san, kau bilang hobimu adalah menulis puisi. Bisakah kau bacakan sebuah puisi untukku sebagai penutup wawancara?”
“Tentu,” jawab Aru, kemudian mengambil buku kesayangannya, memilih acak salah satu puisinya, kemudian membacakannya pelan.
“Bunga sakura
Sakura yang kulihat di bulan April itu
Sakura di kelas Biologi Senin dan Rabu
Sakura yang mekar sepanjang waktu di hati pemuda lugu
Tahukah kau daku rela mati untukmu
Sakuraku…”
Aru berhenti, mukanya memerah. Dari ratusan puisi yang ditulisnya, dia tidak menyangka puisi itu yang dipilihnya. Dia ragu untuk melanjutkannya. Tapi demi melihat wajah manis yang menunggu di depannya, dia pun melanjutkan.
“Sudikah kau bersanding denganku?”
***
“Are you ready, Mister Habsy?”
Habsy menganguk, merapikan jasnya. Dia berdiri di samping podium, bersiap untuk menaikinya. Dia memandang tulisan 25 Most Inspirative People pada layar yang ada di tengah ruangan auditorium. Habsy memejamkan mata sambil melafalkan basmallah dalam hati, dan sejenak mengingat orang-orang yang dicintainya. Orang tuanya, istri dan anak-anaknya, serta teman-teman yang selalu mendukungnya. Habsy tersenyum, menaiki podium.
***
Aku duduk di sofa, masih terkagum-kagum dengan rumah yang baru saja kumasuki. Rumah itu bersih dan rapi meski berada di kampung. Ruang tamu rumah itu dihiasi pernak-pernik yang belum pernah kulihat sebelumnya. Pasti barang luar negeri, pikirku.
Seorang pria setengah baya keluar dari ruangan di sebelah ruang tamu. Aku tersenyum ke arahnya, dan dia membalas senyumku, kemudian duduk di sofa di depanku. Aku memperkenalkan diri dan asalku yang seorang jurnalis majalah kampus, serta menjelaskan tujuanku datang ke rumahnya untuk mewawancarai penulis buku yang kukagumi itu.
Aku mengambil notes dan pena dari dalam tasku. Juga sebuah buku biografi best seller yang kubeli dua minggu yang lalu, dan sudah kubaca dua belas kali. Aku hampir hafal isi setiap babnya.
“Kau mengingatkanku dengan saat aku pertama kali bertemu istriku. Baiklah, silahkan mulai wawancaranya.”
“Saya sudah membaca buku biografi anda. Salah satu bagian favorit saya adalah ketika anda ditanya mengenai cita-cita anda dan anda menjawab ingin keliling dunia. Menurut anda, sudahkah anda meraih cita-cita masa kecil anda tersebut?”
Pria itu tersenyum, kemudian menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, nak, aku sudah meraihnya. Tapi kalau yang dimaksud keliling dunia adalah mengunjungi setiap bagian dari bumi ini, atau bertemu dengan Ronaldo dan Harry Potter, sayang sekali aku gagal. Aku masih sangat polos waktu itu, tapi seiring berjalannya waktu, aku menemukan hal-hal yang aku inginkan. Aku bertemu banyak orang dan mulai mengetahui tujuanku. Setiap orang yang kutemui adalah bagian dari duniaku. Jika orang tuaku adalah Indonesia, Beni, Dodi, Santi adalah Malaysia, Singapura dan Thailand bagiku. Bu Marni adalah Australiaku. Zaki adalah Amerika. Istriku Nanako adalah Jepang bagiku. Anak-anakku adalah Eropa. Dan banyak orang yang kutemui adalah fase penting dalam hidupku. Mereka yang merubah hidupku. Mereka adalah perjalananku. Merekalah dunia yang aku tuju.”
Selama beberapa detik aku terpukau dengan jawaban yang dia lontarkan. Buru-buru kucatat dalam notesku. Kemudian kulanjutkan pertanyaanku. “Sebagian besar hidup anda dihabiskan di luar negeri, apakah anda tidak bahagia tinggal di Indonesia? Bagaimana pendapat anda tentang beberapa pihak yang bilang anda tidak nasionalis?
“Aku mencintai negeriku. Memang benar hampir separuh hidupku kuhabiskan di negeri orang, tapi pada akhirnya aku memilih kembali ke rumahku, ke Indonesia. Tidak nasionalis? Aku tidak peduli dengan pendapat orang lain. Kalau nasionalis yang mereka maksud adalah upacara bendera di puncak gunung, aku memang bukan bagian dari mereka. Aku bahkan belum pernah naik gunung. Kalau dipikir-pikir, apa perbuatan riil yang dilakukan mereka yang sudah sampai puncak-puncak itu untuk Indonesia? Mereka bahkan tidak serius dengan studinya, kuliah masih sering TA, dan perbuatan-perbuatan kecil lain yang tidak baik. Ketahuilah bahwa ada banyak cara untuk mencintai Indonesia, dan aku punya caraku sendiri. Aku belajar di negeri orang, mengamati gaya hidup mereka, lingkungan mereka dan banyak hal. Aku belajar mengapa mereka bisa maju sedangkan kita tidak. Setelah aku puas belajar, aku pulang ke negeriku, mengambil pelajaran positif dari mereka dan membuang negatifnya. Aku mengajari tetanggaku di kampung ini tentang pentingnya menjaga kebersihan. Aku ajari anak-anakku disiplin waktu. Aku menulis buku, dengan harapan semoga anak-anak muda yang membacanya terinspirasi, percaya bahwa mimpi setinggi apapun bisa diwujudkan jika kita mau berusaha. Lihatlah aku yang anak petani miskin ini telah membuktikannya. Aku mencintai negeriku, dengan ikut andil memulai perubahan yang lebih baik dari diriku sendiri.”
“Anda adalah salah satu dari 25 orang yang paling menginspirasi di dunia, anda punya background pendidikan tinggi, jika anda ingin merubah pemuda-pemudanya, mengapa anda tidak menjadi pengajar dan malah memilih untuk tidak bekerja?
“Ilmu itu untuk mereka yang mencari, nak. Aku tidak mau mengajar di ruangan yang hanya berisi orang malas. Butuh perjuangan lebih untuk mendapat hasil lebih. Kau tahu ayahku menjual tanahnya agar aku bisa melanjutkan studiku. Beliau adalah fase penting yang menjadikanku seperti sekarang. Tentu aku tidak akan segan membagi ilmuku, tapi untuk mereka para pencari, mereka yang datang padaku.”
***
Aku memasukkan notes dan penaku ke dalam tas. Mengambil biografi dari orang yang baru saja kuwawancarai. Sekilas membaca tulisan di sampulnya. Ahmad Fatih Al-Habsy.

Write a Reply or Comment

Your email address will not be published.